Senin, 04 Mei 2009

Koalisi Jalan Syetan

Pesta demokrasi 2009 baru saja berlalu, entitas puncak dari demokrasi ini ternyata belum mampu mewujudkan keterwakilan dan keberpihakan rakyat. Justru setelah pemilu 2009, semua partai politik seakan sibuk untuk mencari “koalisi” kekuasaan. Hal ini memprlihatkan bahwa suara rakyat semata-mata di kejar hanya untuk kemenangan partai dan menunjukkan seberapa besarnya partai, bukan untuk menyatukan keinginan kesejahteraan ummat.

Partai islam seakan-akan tidak laku terjual, bahkan mereka pasrah dan menyerahkan diri secara langsung kepada partai-partai nasionalis, dengan mengatakan bahwa mereka siap berkoalisi dengan siapa saja. Tentu hal ini, sangat menjadi sebuah pertanyaan baru, lakukah partai islam dalam Pemilu 2009? Maka dari hasil perolehan partai berazas islam dan berbau islam kita dapat menyimpulkan bahwa mereka tidak mampu menanamkan kepercayaan kepada publik. Sekedar mengingatkan akan ucapan Nurcholis Madjid, “Islam Yes, Partai Islam No”. Ada benar ucapan itu. Karena pada dasarnya partai-partai islam belum mampu membawa misi islam dan nilai-nilai islam dalam memberikan kesadaran politik di masyarakat. Masyarakat mulai sadar betul bahwa saat ini, Pemilu dalam kancah Demokrasi sekedar mengganti individu belaka di DPR namun tidak merubah secara fundamental sifat DPR dan sistem di negeri ini. Koalisi-koalisi antar partai yang mulai digagas ternyata hanya bertujuan membentuk kekuasaan dan melupakan proses ke depan ke arah pembentukan kesejahteraan ummat.

Saat ini, media massa telah tertuju pada 2 kubu yang akan saling bersaing yaitu kubu Demokrat yang direpresentasikan dengan SBY dan PDIP yang merepresentasikan dalam wujud Megawati. Lantas kemanakah partai Islam bermuara? Justru kalau kita perhatikan baik Demokrat dan PDIP sama-sama berazaskan pancasila, artinya kalau pun mereka masih mempertahankan idealis kepartaiannya mereka tidak berada dalam posisi mendukung diantara kduanya. Namun sayangnya, partai islam belum mampu menunjukan identitas diri mereka sebagai orang islam. Yang ada justru mereka lebih terpikat kepada pembagian kekuasaan, bukan sebaliknya menguasai Indonesia dengan islam yang akan membawa Indonesia yang lebih baik.

Partai Islam vs Partai Sekuler

Disebut partai sekuler jika arah perjuangan dan azas partai tidak berdasarkan islam, sementara partai yang lebih populer di masyarakat sebagai partai islam ternyata masih ragu dan berwacana diam-diam terhadap islam mereka menggembar-gemborkan perjuangan untuk islam, namun nyatanya mereka berkoalisi dengan partai sekuler yang jelas-jelas mengusung kehidupan tanpa aturan agama. Partai Islam pun sepertinya saat ini samar-samar, dan secara gamblang belum mapu membuktikan diri keisalman mereka dalam mewujudkan kehidupan yang didasarkan islam. Padahal dasar pembentukan partai islam itu harus sesuai dengan kutipan Al-Quran sbb:
“ dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Imron:104)

Artinya partai islam harus menyeru dan menyuruh ummat untuk melakukan hal-hal yang maruf dan islam serta mencegah ummat untuk brbuat mungkar. Inilah partai isalm saebenarnya, yaitu berpijak kepada islam bukan kepada aturan syetan dan aturan buatan manusia. Kekuatan partai islam pun seharusnya berpijak kepada islam sebagai aturan kehidupan bukan sekedar azas dan wacana belaka. Inilah partai islam yang shohih itu, sehingga ia tidak menjual islam hanya untuk kepentingan semu kepemimpinan yang sebenarnya adalah pembodohan barat untuk merusak pondasi-pondasi keimanan islam.

Koalisi Jalan Setan

Wahai partai Islam! Koalisi memperebutkan kursi jabatan dan kekuasaan, merebutkan pembagian kepemimpinan, dan mencari posisi aman sebenarnya jalan mudhorot yang akan meninggalkan jejak menyakitkan dan suramkepada ummat untuk percaya kepada islam. Sudah layak kita sebagai barisan orang-orang beriman berada dalam keteguhan dan keistiqomahan dalam islam. Karena sangat jelas seruan-Nya keapda kita untuk menjalankan aturan islam bukan aturan syetan sebagaimana tertulis dalam firman-Nya sbb.

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Al-Maidah:50)

Sudah pantas bagi partai islam untuk mengambil langkah berani, yaitu keluar dari koalisi dan mengusung islam dari luar bukan dari Demokrasi, karena jeals Demokrasi telah menjual isalm secara rendah dan mereka tidak menginginkan islam sebagai aturan hidup karena pada dasarnya Demokrasi yang dielu-elukan olehbarat, pemimpin negeri kaum muslim adalah tindakan melawan Tuhan! (wallahu ‘alam).

oleh Rizqi Awal (Sekjen GP SUMEDANG, Direktur Light Institut

Sabtu, 02 Mei 2009

Pendidikan Mahal, Buah Pemerintahan Kapitalis

[Al-Islam 453] Mulai tahun 2009 ini masyarakat dijanjikan sekolah gratis untuk tingkat SD dan SMP. Janji yang mulai diiklankan sejak masa tenang Pemilu lalu ini mendapat sambutan baik dari masyarakat. Masyarakat mulai merenda angan: anak-anak mereka akan bisa mengenyam pendidikan minimal hingga kelas IX atau tamat SMP.

Sayangnya, janji itu berlaku untuk sekolah negeri. Padahah faktanya, banyak siswa yang tidak tertampung oleh sekolah negeri dan terpaksa harus bersekolah di sekolah swasta. Untuk itu, tentu saja mereka tetap harus keluar biaya mulai uang masuk, seragam, buku hingga biaya tetek-bengek lainnya yang belum tentu berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar. bahkan untuk sekolah-sekolah berkualitas atau sekolah terpadu biaya yang harus dikeluarkan sangat besar. Uang masuknya saja rata-rata mencapai jutaan, sementara uang SPP-nya mencapai ratusan ribu rupiah perbulannya.

Untuk sekolah SLTA belum ada sekolah gratis secara nasional, termasuk sekolah negeri. Artinya, seluruh masyarakat harus menanggung banyak biaya demi kelangsungan sekolah anak-anak mereka di SLTA, negeri atau swasta. Ambil contoh salah satu SLTA negeri di Bogor yang mematok uang masuk sebesar 5 juta rupiah. Untuk sekolah yang bertaraf internasional uang masuknya saja bisa mencapai 10 juta rupiah.

Lalu untuk tingkat pendidikan tinggi, PTN telah “diswastanisasi” melalui UU BHP. Memang, Pemerintah masih mengucurkan dana ke PTN. Namun, sebagian besar biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi harus ditanggung oleh PTN itu sendiri. PTN selanjutnya membebankan biaya itu kepada para mahasiswa. Dari sinilah kita akhirnya mendengar biaya masuk PTN yang dari hari ke hari makin mahal, mencapai puluhan juta rupiah, bahkan untuk masuk fakultas kedokteran mencapai lebih dari 100 juta rupiah. Uang SPP-nya pun tidak ada lagi yang bisa dikatakan “murah”. Rata-rata SPP Perguruan Tinggi Negeri mencapai jutaan rupiah, bahkan ada yang mencapai 25 juta rupiah persemester.

Akibat Negara yang Makin Kapitalistik

Penyelenggaraan pendidikan hanya sebagian dari pengaturan berbagai urusan masyarakat. Corak pengaturan urusan-urusan masyarakat, termasuk dalam bidang pendidikan, tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang diadopsi negara. Mahalnya biaya sekolah adalah dampak logis dari diadopsinya ideologi Kapitalisme oleh negara ini. Ideologi Kapitalisme nyata-nyata ‘mengharamkan’ peran negara yang terlalu jauh dalam menangani urusan-urusan masyarakat. Dalam Kapitalisme, peran negara/pemerintah harus diminimalkan. Dalam sistem Kapitalisme, negara/pemerintah memang dibuat tidak mampu membiayai penyelenggaraan urusan masyarakat. Pasalnya, Kapitalisme menetapkan sumber-sumber kakayaan tidak boleh dikelola negara, tetapi harus diserahkan kepada swasta. Bahkan jika negara sudah terlanjur memiliki BUMN yang mengelola sumberdaya alam, misalnya, maka BUMN itu harus diprivatisasi (dijual kepada swasta). Dengan begitu negara tidak memiliki sumber pandapatan dari sumber-sumber kekayaan alam yang bisa membuat negara mampu membiayai berbagai urusan masyarakat, termasuk pendidikan.

Ideologi Kapitalisme juga mengharuskan pengelolaan urusan masyarakat diserahkan kepada swasta. Semua sektor harus dibuka untuk swasta dan harus dibuka untuk dijadikan sebagai lahan bisnis, termasuk pendidikan. Negara menurut ideologi Kapitalisme tidak boleh menangani langsung urusan masyarakat. Semuanya harus dibuka untuk swasta. Karena itu, munculnya undang-undang yang mem-“privatisasi” lembaga sekolah hanyalah konsekuensi logis dari ideologi Kapitalisme yang dianut negeri ini.

Akibatnya, biaya sekolah terus meroket. Sekolah tiba-tiba menjadi barang mewah bagi kebanyakan anggota masyarakat. Kalaupun ada sekolah gratis, itu hanya sampai tingkat SMP, dan hanya berlaku bagi sekolah negeri. Selebihnya, sekolah tingkat lanjut hanyalah untuk mereka yang mampu menanggung biayanya, tidak untuk orang-orang miskin.

Mungkin orang akan berkata bahwa adanya sekolah gratis sudah merupakan hal yang bagus. Sebab, baru segitulah kemampuan maksimal negara/pemerintah untuk memberikan sekolah gratis. Pasalnya, negara/pemerintah tidak memiliki sumberdana yang cukup untuk membiayai lebih dari itu.

Privatitasi (penjualan BUMN kepada pihak swasta) yang diamanahkan oleh undang-undang terus memperkecil sumber pendapatan negara. Akibatnya, untuk membiayai semua urusannya, negara harus membebani rakyat dalam bentuk pungutan pajak yang terus meningkat. Jika terjadi masalah, kelangsungan sekolah gratis itu bisa terancam, negara kemudian menurunkan anggaran pendidikan. Seperti sekarang, diberitakan Pemerintah akan menurunkan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2010 dari 207,41 triliun pada tahun 2009 (21%) menjadi 195,63 triliun atau 20,6% dari APBN (Kompas, 27/04/09).

Keinginan masyarakat untuk menikmati sekolah berkualitas dengan biaya murah dalam pemerintahan kapitalis jelas bertentangan dengan ideologi Kapitalisme yang diadopsi. Jika masyarakat tetap menghendaki itu, yaitu negara menanggung biaya pendidikan, maka masyarakat pun harus siap menanggung beban berat. Sebab, biaya untuk itu harus ditanggung rakyat dalam bentuk pungutan pajak yang tinggi. Sekali lagi, semua itu adalah konsekuensi logis dari ideologi Kapitalisme yang diadopsi negeri ini.

Pada akhirnya, anak-anak dari keluarga kurang mampu harus puas dengan sekolah apa adanya, dan membuang mimpi untuk menikmati pendidikan tinggi. Itu artinya, mereka harus membuang mimpi memperbaiki nasib keluarga. Jika dulu sekolah bisa dikatakan sebagai jalan untuk memperbaiki nasib, maka dengan mahalnya biaya sekolah, peluang perbaikan nasib itu seakan ditutup untuk mereka yang kurang mampu. Jadilah mereka yang kurang mampu terjebak terus-menerus secara turun-temurun dalam lingkaran keterpurukan.

Pendidikan tinggi akhirnya menjadi “hak khusus” kalangan kaya. Jika akhirnya sistem yang ada terkesan lebih berpihak kepada kalangan kaya, maka memang seperti itulah tabiat dari sistem Kapitalisme. Ideologi Kapitalisme memang didesain untuk selalu berpihak kepada orang-orang kaya, terutama para pemilik modal, dengan mengorbankan rakyat kebanyakan.

Islam Menjamin Pendidikan Bagi Semua

Bertolakbelakang dengan ideologi Kapitalisme yang meminimalkan peran negara, ideologi Islam justru menetapkan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh atas pemeliharaan urusan-urusan masyarakat. Rasulullah saw. menegaskan:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertangunggjawaban atas pengurusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Pemimpin (kepala Negara) adalah pihak yang berkewajiban memelihara urusan rakyat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR Muslim).

Di antara pengurusan rakyat adalah pendidikan. Jadi, dalam Islam negara berkewajiban memelihara urusan pendidikan rakyatnya. Negara tidak boleh lepas tangan dan menyerahkan pendidikan kepada swasta. Negara justru harus bertanggung jawab penuh atas masalah pendidikan rakyatnya.

Lebih dari itu, Islam menetapkan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan utama masyarakat secara umum yang pemenuhannya menjadi kewajiban negara. Negara wajib menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis. Inilah prinsip dasar dalam sistem Islam. Prinsip dasar ini jelas bertolak belakang dengan prinsip dasar dalam sistem Kapitalisme yang sedang diterapkan di dunia, termasuk di negeri ini.

Berdasarkan pinsip ini, jika negara lalai atau abai terhadap masalah pendidikan rakyat maka kelalaian itu dinilai sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Allah, dan tentu saja penguasa berdosa karenanya. Prinsip inilah yang menjadikan para pemimpin dalam Islam selalu fokus terhadap pendidikan. Rasulullah saw. telah mencontohkan hal ini.

Rasul saw. langsung mendidik masyarakat. Beliau juga mengangkat orang-orang yang bertugas memberikan pengajaran kepada masyarakat. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Hisyam di dalam Sîrah Ibn Hisyâm, Rasul juga pernah menjadikan tebusan bagi tawanan Perang Badar dalam bentuk mengajari anak-anak kaum Anshar membaca dan menulis. Untuk semua itu masyarakat tidak dipungut biaya sepeser pun. Prinsip itu pula yang mendorong para khalifah setelah beliau membangun berbagai fasilitas pendidikan secara cuma-cuma untuk rakyat. Penyelenggaraan pendidikan berkualitas disediakan untuk rakyat yang menginginkannya tanpa dipungut biaya. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Khalifah Mu’tashim billah, Khalifah al-Mustanshir, Sultan Nuruddin dan para penguasa Islam lainnya sepanjang masa Kekhilafahan Islam. Wajar jika sepanjang kekuasaan Kekhilafahn Islam, lahir banyak ulama, cendekiawan dan ahli di berbagai bidang. Mereka melahirkan temuan-temuan spektakuler yang mendahului ilmuwan-ilmuwan Barat puluhan bahkan ratusan tahun lebih dulu.

Sistem Islam memungkinkan mengulang semua itu. Pasalnya, Islam bukan hanya menetapkan negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas secara gratis bagi rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim. Islam juga menetapkan sistem kepemilikan yang menetapkan barang-barang tambang dan kekayaan alam lainnya menjadi milik bersama seluruh rakyat yang pengelolaannya diwakilkan kepada negara, yang seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Dengan ketentuan itu, negara akan selalu memiliki dana yang cukup untuk membiayai pelayanan pendidikan gratis untuk rakyat secara mamadai.

Wahai Kaum Muslim:

Mahalnya biaya sekolah adalah akibat logis dari pemeritahan kapitalis yang menerapkan ideologi Kapitalisme di negeri ini. Selama ideologi Kapitalisme diadopsi dan diterapkan di negeri ini, biaya sekolah mahal akan terus menjadi masalah.

Sebaliknya, Islam menetapkan bahwa negara wajib memelihara urusan rakyat, termasuk pendidikan. Bahkan negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas untuk seluruh rakyat tanpa kecuali secara gratis. Untuk itu, Islam juga menetapkan sistem ekonomi yang akan menjamin negara bisa selalu membiayai penyediaan pendidikan gratis itu.

Karenanya, untuk mengakhiri masalah mahalnya biaya sekolah secara tuntas, ideologi dan sistem Kapitalisme harus segera dicampakkan, kemudian diganti dengan ideologi dan sistem Islam. Intinya, syariah Islam harus segara ditegakkan secara total dalam seluruh aspek kehidupan, dalam institusi Khilafah. Hanya dengan itulah kita akan mendapatkan kehidupan yang di dalamnya Allah menurunkan berkah dari langit dan bumi. Allah swt berfirman:

]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ[

Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’raf [7]: 96)

Wallâhu a’lam. []

Koalisi Parpol Islam dan Parpol Sekuler dalam Pandangan Islam

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi

Pendahuluan

Pemilu legislatif telah digelar 9 April 2009 lalu dan hasilnya sudah diketahui, walau hanya berdasarkan quick count atau hasil rekapitulasi sementara KPU. Hasil pemilu ini lalu dijadikan dasar untuk membentuk koalisi antar parpol menuju Pemilu Presiden, baik koalisi sesama parpol sekuler maupun antara parpol sekuler dengan parpol Islam.

Koalisi sesama parpol sekuler mungkin bukan hal aneh. Tapi menjadi tidak wajar jika ada parpol Islam berkoalisi dengan partai sekuler. Misalnya saja, koalisi PKS dengan Partai Demokrat, yang telah diresmikan Ahad lalu (26/04/09) (Koran Tempo, 27/04/09). Sebelumnya, Prof. Dr. Iberamsjah, Guru Besar Ilmu Politik UI, telah mengkritik tajam rencana koalisi PKS-Demokrat yang disebutnya aneh ini. Iberamsjah mempertanyakan dengan kritis,”PKS mewakili aspirasi umat Islam yang fanatik mendukung perjuangan rakyat Palestina dan sangat anti Zionis. Tiba-tiba berpelukan dengan Partai Demokrat yang sangat pro Amerika yang melindungi Zionis Yahudi. Bagaimana bisa?” (Sabili, No 20, Th XVI 27 Rabiul Akhir 1430/23 April 2009, hal. 28).

Maka dari itu, sangat relevan umat Islam memahami dengan baik norma-norma ajaran Islam terkait dengan koalisi parpol seperti ini. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan hukum syara’ tentang koalisi antar parpol Islam dengan parpol sekuler.

Pengertian dan Fakta Koalisi

Koalisi menurut pengertian bahasa (etimologi) artinya adalah kerjasama antara beberapa partai. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 514). Dalam bahasa Inggris, coalition diartikan sebagai pergabungan atau persatuan, sedang coalition party artinya adalah partai koalisi. (John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, hlm. 121).

Menurut pengertian istilah (terminologi), koalisi memiliki banyak definisi. Menurut Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi IV (1988:50), koalisi berasal dari bahasa Latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat penggabung. Maka koalisi dapat diartikan sebagai ikatan atau gabungan antara dua atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau dapat diartikan sebagai gabungan beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. (Murdiati, 1999).

Dalam bahasa Arab, koalisi politik disebut dengan istilah at-tahaaluf as-siyasi. At-tahaluf, berasal dari kata hilfun yang berarti perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aqadah). Literatur yang sering ditunjuk untuk membahas tema koalisi politik dalam Islam antara lain kitab berjudul At-Tahaaluf As-Siyasi fi Al-Islam, karya Syaikh Muhammad Munir Al-Ghadban (ulama Ikhwanul Muslimin).

Adapun koalisi yang dimaksud dalam tulisan ini, dibatasi pada koalisi antar parpol Islam dan parpol sekuler. Dengan mengamati realitas politik praktis, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler dapat didefinisikan secara umum sebagai penggabungan atau kerjasama parpol Islam dan parpol sekuler untuk mempengaruhi proses-proses politik, seperti misalnya : (1) menentukan calon presiden dan calon wakil presiden, (2) menentukan menteri-menteri di kabinet, (3) menentukan strategi untuk menyusun parlemen yang mendukung pemerintah, (4) menentukan platform dan arah kebijakan, dan lain-lain.

Koalisi parpol Islam dan parpol sekuler di Indonesia sudah lama terjadi. Fakta ini tidak terjadi belakangan ini saja, katakanlah tahun 1999 ketika ada koalisi yang disebut Poros Tengah, yang dimotori PAN (partai sekuler) dan PPP (partai Islam) guna menggolkan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4. Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah pernah terjadi. Masyumi sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi dengan berbagai parpol sekuler. Pada tahun 1945-1946 (Kabinet Syahrir I), terjadi koalisi Masyumi – Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Lalu, pada tahun 1950-1951 (Kabinet Natsir) terjadi koalisi Masyumi - PSI, tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan dan tahun 1952-1953 (Kabinet Wilopo) terjadi koalisi Masyumi - PNI. (Alfian, 1981; Ricklefs, 2005; Mashad, 2008; Kiswanto, 2008).

Pada masa kini, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler juga sering terjadi, seperti dalam berbagai Pilkada. Di Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2007, PKS berkoalisi dengan Partai Golkar (Jurdi, 2009). Bahkan di Papua, PKS berkoalisi dengan PDS (partai Kristen).

Koalisi pragmatis model PKS itu mengingatkan orang pada koalisi Ikhwanul Muslimin dengan beberapa partai sekuler di Mesir. Ikhwanul Muslimin di Mesir pernah berkoalisi dengan Partai Wafd, yang merupakan gabungan partai komunis dan partai sekuler di Mesir. Ikhwan juga pernah berkoalisi dengan Partai Asy-Sya’ab, yaitu partai buruh dalam pemilu anggota legislatif. Gerakan Islam Syiria juga pernah berkoalisi dengan unsur kekuatan nasionalis Syiria untuk beroposisi dengan penguasa dan dalam rangka berupaya menggantikannya. Gerakan dakwah Yaman juga pernah berkoalisi dengan partai berkuasa dan kemudian membentuk lembaga kepresidenan untuk menjalankan pemerintahan. Gerakan dakwah Islam di Sudan juga pernah berkoalisi dengan tentara untuk menjalankan urusan kenegaraan. (Anonim, 2004).

Inilah sekilas pengertian dan fakta koalisi parpol Islam dan parpol sekuler.

Hukum Koalisi Parpol Islam & Parpol Sekuler

Dengan meneliti fakta (manath) koalisi partai Islam dan partai sekuler yang ada, dapat diketahui bahwa tujuan utama koalisi tersebut secara garis besar ada 3 (tiga); Pertama, untuk menentukan presiden dan wakil presiden. Kedua, untuk menentukan menteri-menteri dalam kabinet. Ketiga, untuk menciptakan stabilitas politik dalam parlemen.

Faktanya, dalam menjalankan sistem pemerintahan sekuler sekarang (republik), semua lembaga politik seperti presiden, menteri, dan parlemen, tidak menggunakan Syariah Islam sebagai hukum positif (yang berlaku), melainkan menggunakan hukum-hukum buatan manusia (hukum kufur/thaghut/jahiliyah).

Presiden dan para menteri, misalnya, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif bukanlah menjalankan Syariah Islam, melainkan menjalankan UU buatan manusia (produk lembaga legislatif). Parlemen, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan legislatif adalah melakukan legislasi UU yang tidak merujuk kepada wahyu sebagai sumber hukumnya, melainkan menjadikan manusia sebagai sumber hukumnya. Kalau ada legislasi atau penerapan Syariah, hanyalah sedikit atau parsial saja, dan merupakan perkecualian.

Padahal, Islam di satu sisi telah mewajibkan umatnya untuk menerapkan Syariah Islam, secara menyeluruh/kaffah dan bukan secara parsial. (Lihat QS An-Nisaa : 58; QS Al-Maaidah : 48-49; QS Al-Baqarah : 208; QS Al-Baqarah : 85).

Di sisi lain Islam telah mengharamkan umatnya untuk menerapkan hukum kufur, yaitu hukum selain Syariah Islam. (Lihat QS Al-Maaidah : 44, 45, 47; QS Al-Maaidah : 50; QS An-Nisaa` : 60; QS An-Nisaa` : 65). Firman Allah SWT :

Maka dari itu, mempertimbangkan tujuan-tujuan koalisi yang telah disebutkan di atas, dan pertentangannya yang nyata dengan syara’, maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram secara syar’i.

Dalil-dalil keharamannya adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan qaidah syar’iyah. Rinciannya sebagai berikut :

Pertama, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler merupakan tolong menolong dalam perkara yang haram, yaitu tolong menolong yang mengarah kepada penerapan hukum-hukum kufur (bukan Syariah Islam), baik dalam kekuasaan eksekutif (presiden dan menteri) maupun legislatif (parlemen). Tolong menolong semacam ini telah dilarang oleh Allah SWT dengan firman-Nya :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maaidah [5] : 2)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas :

يأمر تعالى عباده المؤمنين بالمعاونة على فعل الخيرات، وهو البر، وترك المنكرات وهو التقوى، وينهاهم عن التناصر على الباطل. والتعاون على المآثم والمحارم…

“Allah SWT telah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tolong menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (al-taqwa). Allah SWT juga melarang mereka untuk tolong menolong dalam kebatilan (al-bathil), dalam dosa (al-ma-atsim), dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-maharim).” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/12-13).

Berdasarkan keumuman ayat di atas, yaitu adanya larangan untuk tolong menolong dalam segala kebatilan (al-bathil), dosa (al-ma-atsim), dan hal-hal yang diharamkan (al-maharim), maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler adalah haram, karena koalisi ini mengarah pada penerapan hukum kufur yang jelas-jelas haram.

Kedua, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan menimbulkan kecenderungan (sikap rela/setuju) dari aktivis parpol Islam kepada aktivis parpol sekuler yang zalim. Padahal sikap cenderung ini dilarang oleh Allah SWT :

وَلا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS Huud [11] : 113)

Kalimat “janganlah kamu cenderung” (wa laa tarkanuu), ada beberapa penafsiran. Kata Qatadah, bahwa maksudnya adalah janganlah kamu mencintai (laa tawadduuhum) dan janganlah kamu mentaati mereka (laa tuthii’uuhum). Kata Ibnu Juraij, maksudnya janganlah kamu condong kepada mereka (laa tumiilu ilaihim). Kata Abul ‘Aliyah, maksudnya janganlah kamu rela dengan perbuatan mereka (laa tardhou a’maalahum). Mengomentari beberapa penafsiran ini, Imam Qurthubi menyimpulkan,”Semua penafsiran ini hampir sama maknanya.” (Kulluha mutaqaaribah). (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).

Imam Al-Qurthubi selanjutnya menerangkan :

وأنها دالة على هجران أهل الكفر والمعاصي من أهل البدع وغيرهم، فإن صحبتهم كفر أو معصية، إذ الصحبة لا تكون إلا عن مودة

“Ayat ini menunjukkan [keharusan] menjauhi orang kafir atau para pelaku maksiat dari kalangan ahlul bid’ah dan yang lainnya, karena bersahabat dengan mereka adalah suatu kekufuran atau kemaksiatan, mengingat persahabatan tak mungkin ada kecuali karena kecintaan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).

Berdasarkan penafsiran ini, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler haram hukumnya. Sebab para aktivis parpol sekuler hakikatnya adalah orang-orang zalim atau para pelaku maksiat (ahlul ma’ashi), karena tidak menjadikan ajaran Islam sebagai asas dan pedoman dalam berparpol. Orang-orang sekuler ini mestinya dijauhi, bukan didekati atau malah diajak koalisi. Karena itu, berkoalisi dengan mereka, berarti melanggar perintah Allah dalam ayat di atas, yaitu perintah untuk menjauhi para pelaku maksiat dengan cara tidak berkawan atau bersahabat dengan mereka.

Ketiga, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan memperlama umur kebatilan, yaitu sistem demokasi-sekuler sekarang. Padahal Allah SWT telah memerintahkan agar bersegera –bukan berlambat-lambat– dalam meninggalkan kebatilan dan melaksanakan ketaatan. Allah SWT berfirman :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالاَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali ‘Imraan [3] : 133).

Kata saari’uu (bersegaralah) artinya baadiruu (bercepat-cepatlah) atau saabiquu (berlomba-lombalah). (Tafsir Al-Baghawi, 2/103). Maka koalisi antar parpol Islam dengan parpol sekuler haram karena bertentangan dengan perintah Allah ini, sebab koalisi seperti itu justru akan memperlama eksistensi sistem sekuler dan menunda semakin lama penerapan Syaraiah Islam yang menyeluruh.

Keempat, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan mengantarkan orang-orang mereka dalam jabatan-jabatan pemerintahan dalam sistem sekuler. Padahal telah ada hadis sahih yang melarang menduduki jabatan-jabatan pemerintahan (penguasa) dalam sebuah pemerintahan yang menyalahi Syariah, seperti sistem demokrasi-sekuler sekarang. Sabda Nabi SAW :

ليأتين على الناس زمان يكون عليكم أمراء سفهاء يقدمون شرار الناس ، ويظهرون بخيارهم ، ويؤخرون الصلاة عن مواقيتها ، فمن أدرك ذلك منكم ، فلا يكونن عريفا ولا شرطيا ولا جابيا ولا خازنا

“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman, dimana yang ada atas kalian adalah pemimpi-pemimpin yang bodoh (umara sufaha) yang mengutamakan manusia-manusia yang jahat dan mengalahkan orang-orang yang baik di antara mereka, dan mereka suka menunda-nunda sholat keluar dari waktu-waktunya. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati pemimpin-pemimpin seperti itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pejabat (’ariif), atau menjadi polisi, atau menjadi pemungut [harta], atau menjadi penyimpan [harta].” (Musnad Abu Ya’la, 3/121; Ibnu Hibban no 4669; Kata Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah hadis no 360,”Hadis ini isnadnya sahih dan para perawinya tsiqat.”).

Terdapat hadis lain yang semakna dengan hadis di atas, misalnya sabda Nabi SAW :

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا

“Akan ada pada akhir zaman para pemimpin yang zalim, para menteri yang fasik, para hakim yang khianat, dan para fuqaha yang pendusta. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati zaman itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pemungut harta mereka, atau menjadi pejabat mereka, atau menjadi polisi mereka.” (HR Thabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, hadis no 156, 19/67).

Muhammad Syakir Al-Syarif menjelaskan pengertian kata “ariif” dan “jaabi” dalam hadis di atas sebagai berikut :

العريف : القيم الذي يتولى مسئولية جماعة من الناس…والجابي : الذي يتولى جباية الإموال من الناس كالمكوس ونحوها

“Yang dimaksud “ariif” adalah orang yang memegang tanggung jawab masyarakat umum [pejabat pemerintahan], sedang “jaabi” adalah orang yang bertugas memungut harta masyarakat seperti bea cukai dan yang semisalnya [petugas pajak].” (Muhammad Syakir Al-Syarif, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah, hlm. 181).

Berdasarkan hadis di atas, jelas koalisi parpol Islam dan parpol sekuler haram hukumnya. Karena koalisi ini di antaranya tujuannya adalah menempatkan kader-kader mereka untuk menjadi para pejabat publik, seperti presiden dan menteri, dalam sistem sekarang yang tidak menjalankan Syariah Islam. Posisi jabatan publik dalam sistem kufur seperti ini dilarang berdasarkan hadis di atas.

Kelima, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian atau kesepakatan yang terlarang dalam Islam, karena tujuannya bertentangan dengan ajaran Islam. Perjanjian atau kesepakatan semacam ini haram hukumnya, sesuai sabda Nabi SAW :

لا حِلْفَ فِي الإِسْلام

“Tidak boleh ada perjanjian [yang batil] dalam Islam.” (HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536; Ahmad no 13475).

Kata “hilfun” dalam bahasa Arab arti asalnya adalah perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aaqadah; ittifaaq) untuk saling memperkuat (at-ta’adhud) atau menolong (at-tasaa’ud). (Catatan kaki dalam Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Al-Hakim, 6/497).

Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadis di atas dengan berkata :

فَالْمُرَاد بِهِ حِلْف التَّوَارُث وَالْحِلْف عَلَى مَا مَنَعَ الشَّرْع مِنْهُ

“Yang dimaksud dengan “hilfun” yang dilarang dalam hadis di atas adalah perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah bagi orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW] dan perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syara’.” (Imam Nawawi, Syarah Muslim, 3/302).

Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler adalah haram, karena koalisi ini hakikatnya merupakan perjanjian yang dilarang oleh syara’, karena bertujuan untuk menempatkan para kader mereka sebagai presiden dan/atau menteri (yang akan menjalankan hukum-hukum kufur).

Keenam, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian batil karena mengandung syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’. Nabi SAW telah bersabda :

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.” (HR Bukhari no 2375; Muslim no 2762; Ibnu Majah no 2512; Ahmad 24603; Ibnu Hibban no 4347).

Ibnu Hajar Al-’Asqalani dalam Fathul Bari berkata :

أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ

“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai syara’ adalah batil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 8/34).

Jadi, hadis di atas melarang setiap syarat yang bertentangan dengan syara’. Padahal suatu perjanjian termasuk koalisi antar parpol tidak akan terlepas dari syarat-syarat yang diajukan kedua belah pihak. Misalnya siapa yang akan menjadi calon presiden, siapa yang akan menduduki kementerian tertentu, dan sebagainya. Padahal syarat-syarat koalisi ini terkait dengan kekuasaan dalam sistem sekuler yang tidak menjalankan hukum Syariah Islam.

Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler hukumnya haram, karena koalisi ini merupakan suatu perjanjian dengan syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’, yaitu memperoleh kedudukan dalam kekuasaan yang tidak menjalankan Syariah Islam.

Ketujuh, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan perantaraan (wasilah) kepada sesuatu yang haram, yaitu duduknya para kader mereka sebagai pejabat publik (seperti presiden dan menteri) dalam sistem demokrasi-sekuler, yang akan menjalankan hukum-hukum kufur. Kaidah syara’ dalam masalah ini menetapkan :

الْوَسِيلَةُ إلى الْمُحَرَّمِ مُحَرَّمَةٌ

“Segala perantaraan yang akan membawa kepada yang haram, hukumnya haram.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 3/46)

Berdasarkan ketujuh dalil yang telah diuraikan di atas, maka hukum koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya adalah haram secara syar’i.

Kesimpulan

Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koalisi antara parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram. Karena koalisi seperti ini mengarah pada legislasi dan/atau penerapan hukum kufur, baik oleh eksekutif (Presiden dan para menteri) maupun oleh legislatif (parlemen). Wallahu a’lam. [ ]

**Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, 1981, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia).

Al-Ja’bah, Abdul Hamid, Al-Ahzab fi Al-Islam,

Al-Mahmud, Ahmad, 1995, Ad-Da’wah ila Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah)

Al-Qaradhawi, Yusuf, 2000, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur`an dan Sunnah (Min Fiqh Al-Daulah fi Al-Islam), Penerjemah Kathur Suhardi, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar)

Al-Syarif, Muhammad Syakir, 1411 H, Haqiqah Al-Dimuqrathiyyah, (Tanpa tempat penerbit : tanpa penerbit)

———-, 1428 H, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah : ‘Ardh wa Naqd, (Riyadh : tanpa penerbit).

Anonim, 2004, Era Koalisi, mhttp://nurdpcpkssapeken.blogspot.com/2009/01/era-koalisi.html

Echols, John M. & Hassan Shadily, 1983, Cetakan XII, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia).

Hilal, Iyad, 2002, Perjanjian-Perjanjian Internasional dalam Pandangan Islam (Al-Mu’ahadat al-Dauliyah fi al-Syariah al-Islamiyah), Penerjemah Mahbubah, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah).

Jurdi, Fajlurahman, 2009, Aib Politik Islam : Perselingkuhan Binal Partai-Partai Islam Memenuhi Hasrat Kekuasaan, (Yogyakarta : Antonylib).

Kiswanto, Heri, 2008, Gagalnya Peran Politik Kyai Dalam Mengatasi Krisis Multi Dimensional, (Yogyakarta : Nawesea Press).

Mashad, Dhurorudin, 2008, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar).

Mufti, Muhammad Ahmad, 2002, Naqdh Al-Judzur Al-Fikriyah li Al-Dimuqrathiyah Al-Gharbiyah, (Tanpa tempat penerbit : Maktabah Al-Malik Fahad).

Murdiati, Dini, 1999, Faktor Determinan Koalisi Partai Politik, http://kampusciamis.com/content/view/71/1/

Poerwadarminta, W.J.S., 1982, Kamus Umum Bahasa Indinesia, (Jakarta : PN Balai Pustaka).

Ricklefs, M.C., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004 (A History of Modern Indonesia Sinve 1200), (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta).

Sabili, “KPU Makin Tidak Cerdas”, No 20, Th XVI 27 Rabiul Akhir 1430/23 April 2009

Thabib, Hamd Fahmi, Al-Mu’ahadat fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, (t.p : Baitul Maqdis), 2002

Zallum, Abdul Qadim, 1990, Al-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, (Tanpa tempat penerbit : Hizbut Tahrir).